Selama ini selada nyaris lebih banyak menjadi penghias makanan, padahal  kaya zat gizi dan sangat baik bagi kesehatan. Jenis sayuran ini dapat  melindungi paru, mencegah kanker dan stroke, memelihara hati, serta  mengatasi anemia dan bronkitis. 
Selada (Lactuca sativa)  jika dilihat sepintas bentuknya seperti lobak yang berdaun kembang.  Selada merupakan tanaman paling populer di antara tanaman salad lainnya.  Pada tahun 1952, nilai komersial tanaman selada sebagai sayuran di  Amerika Serikat, hanya dapat dilampaui oleh kentang dan tomat. Tanaman  ini diperkirakan telah mulai dijadikan usaha sejak 2.500 tahun lalu.
Tanaman  selada diduga berasal dari Asia Barat. Berawal dari kawasan Asia Barat  dan Amerika, tanaman ini kemudian meluas ke berbagai negara. Daerah  penyebaran selada antara lain Karibia, Malaysia, Afrika Timur, Afrika  Tengah, Afrika Barat, dan Filipina.
Dalam perkembangan  selanjutnya, pembudidayaan selada meluas ke negara-negara yang beriklim  sedang maupun panas. Beberapa negara telah mengembangkan dan menciptakan  varietas unggulan, seperti di Jepang, Taiwan, Thailand, Amerika  Serikat, dan Belanda.
Di Indonesia, selada belum berkembang  pesat sebagai sayuran komersial. Daerah yang banyak ditanami selada  masih terbatas pada pusat-pusat produsen sayuran seperti Cipanas  (Cianjur) dan Lembang (Bandung).
Selada termasuk famili  Asteraceae dan genus Lactuca. Yang termasuk dalam famili ini adalah  selada daun. Selama ini banyak orang salah kaprah dan menganggap selada  daun sama dengan selada air, padahal selada air berasal dari famili yang  berbeda.
Selada daun memiliki daun berwarna hijau segar,  tepinya bergerigi atau berombak, dan lebih enak dimakan mentah. Varietas  selada daun yang ditanam di Indonesia umumnya berasal dari luar negeri.
Sahabat  Perokok, Tangkal Gangguan Hati
Selada air berbeda dengan  selada daun. Selada air berasal dari famili Brassicaceae dan mempunyai  nama Latin berbeda, yaitu Nasturtium officinale. Selada air mempunyai  ciri-ciri batang berongga dengan daun lonjong bertangkai. Daerah asalnya  adalah wilayah timur Mediterania dan wilayah yang berbatasan dengan  Asia.
Selada air mengandung komponen antioksidan lengkap,  sehingga mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan mendetoksifikasi  racun tubuh. Sebuah studi telah memfokuskan pada sifat-sifat antikanker  yang dimiliki selada air, terutama kandungan antioksidannya yang tinggi. 
Jenis selada ini juga terbukti mampu mengobati tuberkulosis,  kudis, dan bersifat antibakteri. Kualitas antikudis ini sudah digunakan  sejak berabad-abad lalu dengan menggunakan selada sebagai obat  tradisional.
Dalam penelitian terbaru, selada air  mengindikasikan dapat melindungi paru-paru perokok dari bahan  karsinogenik yang ada dalam tembakau maupun asap rokok. Konsumsi selada  air membantu menghambat terbentuknya NKK, yaitu zat karsinogenik dalam  tembakau yang menyumbang terjadinya kanker paru, kanker mulut, dan  tenggorokan.
Hal ini dimungkinkan karena daun selada air  mengandung PEITC (phenethyl isothiocynate) yang keluar bila  daun ini dikunyah, yang merupakan agen kemopreventif pelawan kanker  paru. Penelitian juga membuktikan bahwa selada air berkhasiat menangkal  radang selaput lendir pada saluran pernapasan.
Di Jerman, selada  air digunakan untuk mengobati infeksi saluran kencing pada anak-anak.  Bubuk daun selada di India digunakan sebagai peluruh dahak untuk  mengobati bronkitis dan gangguan lever.
Selain itu, selada air  juga bersifat peluruh kencing, pencahar, peningkat stamina. Berguna pula  dalam mengatasi anemia, eksim, gangguan ginjal dan lever, tumor, bisul,  dan kutil karena kaya akan antioksidan dan fitiokimia.
Dalam  pengobatan tradisional, daun selada air segar digunakan untuk  membersihkan darah dan mengobati pasien yang mengalami gangguan  metabolik kronis serta astenia (kelemahan). Daun selada air yang  dilumatkan lalu digunakan sebagai masker wajah bisa mengatasi jerawat,  bintik-bintik, atau noda hitam. @
Baik bagi Ibu Hamil   
Selada  kaya akan kandungan vitamin A, C, E, betakaroten, seng, asam folat,  magnesium, kalsium, zat besi, mangan, fosfor, dan natrium. Namun, dalam  beberapa kasus, selada air dapat mengganggu orang yang mempunyai masalah  pencernaan berat atau tukak lambung.
Seperti jenis  sayur-sayuran lainnya, selada juga mengandung komponen gizi yang cukup  baik, terutama vitamin A dan vitamin K. Kandungan gizi tiap jenis selada  berbeda-beda. Kandungan vitamin A paling banyak terdapat pada selada  yang berwarna merah.
Sementara kandungan vitamin C tertinggi  terdapat pada selada jenis roman lettuce. Kombinasi vitamin C dan  betakaroten pada selada sangat baik untuk menjaga kesehatan jantung  karena dapat mencegah oksidasi kolesterol.
Selada juga kaya akan  vitamin K, paling banyak terdapat pada selada berdaun merah. Selain  membantu proses pembekuan darah, vitamin K berpotensi mencegah penyakit  serius seperti penyakit jantung dan stroke karena efeknya mengurangi  pengerasan pembuluh darah oleh faktor-faktor seperti timbunan plak  kalsium.
Selada juga mengandung komponen lain dalam jumlah  minor, seperti vitamin B kompleks dan berbagai mineral lainnya. Konsumsi  selada jenis roman lettuce sebanyak 100 gram cukup untuk memenuhi 34  persen kebutuhan asam folat dalam tubuh. Asam folat merupakan komponen  dalam DNA dan RNA, sehingga sangat penting untuk pertumbuhan dan  penggantian sel-sel tubuh yang rusak.
Asam folat sangat  diperlukan oleh ibu hamil untuk mengatasi anemia zat besi, serta  mengurangi risiko kelahiran bayi cacat. Asam folat juga dapat mereduksi  kadar homosistein di dalam darah. Homosistein sangat berbahaya bagi  tubuh karena berpotensi menyebabkan berbagai penyakit, seperti jantung  dan lever.
Daun selada mengandung bioflavonoid, berfungsi mirip  vitamin C, yaitu
mempertahankan fisik agar tetap awet muda. Selain  itu, bioflavonoid berfungsi membantu mempertahankan kekuatan pembuluh  darah agar tidak mudah pecah. Karena itu, daun selada sangat baik untuk  mencegah penyakit stroke.
Hati-Hati Salmonella 
Selada  merupakan salah satu contoh sayuran yang biasa digunakan sebagai  penyusun salad dan banyak dikonsumsi mentah sebagai lalapan. Meskipun  lebih nikmat dan mempunyai nilai gizi lebih baik, konsumsi selada mentah  sangat rentan terhadap kontaminasi bakteri patogen.
Hasil  penelitian Lund et al (2000) menyebutkan, pada selada ditemukan bakteri  Salmonella. Bakteri patogen tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan  karena dapat menyebabkan gastroenteritis.
Salmonella penyebab  gastroenteritis ditandai oleh gejala-gejala yang umumnya tampak pada  12-36 jam setelah mengonsumsi bahan pangan yang tercemar. Gejala-gejala  tersebut adalah diare, sakit kepala, muntah-muntah, dan demam yang dapat  berakhir selama 1-7 hari. Menurut Buckle et al (1987), tingkat kematian  akibat Salmonella kurang dari 1 persen, tetapi jumlah ini dapat  meningkat pada anak-anak, orang tua, dan orang yang sedang sakit.
Tingkat  bahaya yang demikian tinggi mendorong beberapa lembaga yang bergerak di  bidang pangan membuat aturan sangat ketat mengenai kandungan Salmonella  pada selada. Menurut rekomendasi ICMSF (International Comission on  Microbiological Spesification for Foods) tahun 1986, kandungan  Salmonella harus nihil (tidak ada) dalam 25 gram sampel yang diuji. 
Sementara  itu, menurut peraturan Public Health Laboratory Service (2000) tentang  penilaian kualitas mikrobiologi sayuran segar, juga disebutkan bahwa  batas aman Salmonella adalah tidak terdeteksi dalam 25 gram sampel  sayuran segar, termasuk selada. Di Indonesia juga dipersyaratkan agar  sayuran yang dimakan mentah tidak boleh mengandung Salmonella.
Selain  Salmonella, pada selada juga mudah ditemukan bakteri patogen lainnya,  seperti Escherichia coli O157:H7, Listeria monocytogenes,  dan Shigella sonnei (Lin et al, 2000). Karena itu, semua orang  yang gemar mengonsumsi sayuran mentah seperti selada sebaiknya lebih  berhati-hati.
Berdasarkan penelitian Susilawati (2002),  Salmonella selalu ditemukan pada sayuran segar. Sementara itu,  penelitian Ruslan (2003) menunjukkan bahwa Salmonella selalu ditemukan  dari tujuh kali pengambilan sampel dari semua jenis sayur olahan.
Jika  hendak mengonsumsi sayuran mentah seperti selada, sebaiknya cuci  berulang kali hingga bersih. Air yang dipakai untuk mencuci harus bebas  dari mikroba patogen atau mikroba penyebab kebusukan makanan. Selain  itu, pencucian juga dapat dilakukan dengan desinfektan seperti klorin.     
Menurut Codex Alimentarius Comission (2000), konsentrasi  klorin yang aman digunakan untuk desinfeksi berkisar antara 50-200 ppm  (mg/kg), dengan waktu kontak 1-2 menit. Di Amerika Serikat, maksimum 200  ppm klorin yang diizinkan untuk sanitasi buah dan sayuran. Bila  digunakan untuk pencucian buah dan sayuran segar, batas maksimum  penggunaan klorin adalah 5 ppm. Setelah dicuci dengan klorin, sayuran  harus dicuci dengan air bersih kembali.
Selain itu, proses  pemblansiran juga dapat menjadi pilihan. Blansir adalah suatu cara  perlakuan panas pada bahan dengan cara pencelupan ke dalam air panas  atau pemberian uap panas pada suhu sekitar 82-93°C. Waktu blansir  bervariasi antara 1-11 menit.  Selain itu, bagian-bagian selada yang  tidak dinginkan, seperti akar maupun daun yang sudah mulai membusuk,  sebaiknya dibuang.
Jangan Disimpan Dekat Buah 
Sebelum  diolah atau dikonsumsi, selada sebaiknya disimpan di dalam lemari  pendingin. Sebelum disimpan, selada harus dikeringkan terlebih dahulu  untuk mencegah pertumbuhan mikroba. Lebih baik lagi jika selada  dibungkus dengan plastik untuk mencegah kontaminasi.
Penyimpanan  selada sebaiknya tidak terlalu dekat dengan buah-buahan yang dapat  memproduksi etilen seperti apel, pisang, dan buah pir, agar tidak mudah  busuk. Lama penyimpanan selada tergantung jenisnya. Selada roman lettuce  dapat bertahan selama 5-7 hari, sedangkan selada butterhead hanya 2-3  hari.
Untuk menghindari bahaya yang tidak diinginkan, sayuran  segar seperti selada sebaiknya tidak dikonsumsi dalam keadaan mentah,  terutama bila disajikan untuk anak-anak atau orang tua. Proses pemasakan  juga dapat membunuh mikroba yang bersifat patogen.
Penyajian  usai pemasakan juga tidak boleh luput dari perhatian. Sebaiknya makanan  yang telah melalui proses pemasakan langsung dikonsumsi. Sebagian besar  kasus food borne disease (penyakit yang berasal dari makanan) di  Indonesia diakibatkan oleh penanganan sesudah pemasakan yang tidak  sempurna, seperti penyimpanan yang terlalu lama.
Prof DR.  Made Astawan
Ahli Teknologi Pangan dan Gizi
 
 
